Background

Background

Silahkan klik beberapa gambar di bawah ini

  • image1
  • image2
  • image3
  • image4
  • image2
  • image1
  • image4
  • image3




Ngudang

Iwan Effendi and Papermoon Puppet Theatre

Curated by Agung Kurniawan

With mini performance by Papermoon Puppet Theatre

Opening Night
29 June 2012, 7pm

“Ngudang” is to speak to a child to praise him, to pray for him and to wish for his better future.
It is a Javanese word, which has a deep meaning, and so far has no equivalence in Indonesian, or even in English.

Using the great theme “Ngudang”, this time Kendra Gallery invites Iwan Effendi and Papermoon Puppet Theatre. Both artists have the same tendency in their creativity; they start from narration to tell the public, to perform their visual arts, with Agung Kurniawan as curator.

When it came to giving advice to writers, Kurt Vonnegut was never dull. He once tried to warn people away from using semicolons by characterizing them as “transvestite hermaphrodites representing absolutely nothing.” In this brief video, Vonnegut offers eight tips on how to write a short story:

    Use the time of a total stranger in such a way that he or she will not feel the time was wasted.
    Give the reader at least one character he or she can root for.
    Every character should want something, even if it is only a glass of water.
    Every sentence must do one of two things–reveal character or advance the action.
    Start as close to the end as possible.
    Be a sadist. No matter how sweet and innocent your leading characters, make awful things happen to them–in order that the reader may see what they are made of.
    Write to please just one person. If you open a window and make love to the world, so to speak, your story will get pneumonia.
    Give your readers as much information as possible as soon as possible. To heck with suspense. Readers should have such complete understanding of what is going on, where and why, that they could finish the story themselves, should cockroaches eat the last few pages.

Vonnegut put down his advice in the introduction to his 1999 collection of magazine stories, Bagombo Snuff Box. But for every rule (well, almost every rule) there is an exception. “The greatest American short story writer of my generation was Flannery O’Connor,” writes Vonnegut. “She broke practically every one of my rules but the first. Great writers tend to do that.”

http://www.openculture.com/2012/06/kurt_vonneguts_eight_tips_on_how_to_write_a_good_short_story.html
Martha McPhee
ISBN: 979-1112-91-6, 448 hal. HVS. Ukuran: 13 x 20,5 cm. Terbit: April 2009
Harga: Rp. 59.900,00

Menarik sekali melihat dunia dari mata seorang gadis berumur delapan tahun. Dialah Kate yang ditinggal papanya karena kabur bersama istri tetangganya. Setelah itu, giliran mamanya jatuh cinta pada seorang pria karismatik sekaligus misterius bernama Anton. 

Dari sana, kehidupan Kate dan kedua saudarinya berubah total. Mereka harus mengikuti mama mereka yang telanjur kepincut sama Anton. Mau tidak mau mereka harus meninggalkan rumah mereka yang nyaman di New Jersey menuju Big Sure. Namun, petualangan membelah Amerika dari Pantai Timur ke Pantai Barat inilah yang menarik.

Dengan gayanya yang polos dan sok tahu, Kate menceritakan semuanya. Mulai dari hubungan sang mama dengan pacar barunya; anak-anak Anton yang meskipun sebaya dengannya, tetapi sudah jago nyekek botol dan melinting ganja; teman-teman aneh Anton
yang gemar berjudi sambil membicarakan kesetaraan gender dan spiritualitas; bagaimana cara mereka bisa mandi gratis di hotel dan mengelabui petugas cagar alam; sampai pemandangan indah sepanjang negara bagian yang mereka lewati, terutama Grand Canyon yang mahadahsyat.

Jika mamanya sedang bertengkar dengan Anton dan saudara-saudara barunya mulai menjengkelkan, kadang-kadang Kate merindukan papanya datang menjemput mereka dan bisa hidup normal kembali. Bright Angel sendiri adalah nama bebatuan di Grand Canyon yang Kate ketahui dari papanya, seorang geolog.

Berlatarkan Amerika Serikat tahun 70-an. Kaya dalam penokohan, humor, dan penggambaran suasana akan tempat yang kuat dan hidup, Bright Angel Time benar-benar buku yang indah dan asyik dibaca.
Pengarang Giacomo Casanova
Serambi, 978-979-024-142-8, 304 hal. HVS Ukuran: 13 x 20,5 cm, Terbit: Mei 2009
Harga: Rp. 44.900,00

Cinta bisa mengejutkan. Cinta bisa bikin patah hati. Cinta bisa jadi ilham karya seni. Tapi cinta adalah perasaan yang dimiliki semua manusia tanpa membedakan kasta...

Buku ini adalah kisah tentang cinta yang kadang bikin sengsara, tragis, mengundang bahaya, sekaligus erotis, menggoda, penuh gairah, tapi terkadang seolah polos tanpa dosa, dan bahkan absurd. Sebuah buku yang layak dibaca oleh para lelaki dan wanita dewasa yang berpikiran terbuka.

Giacomo Casanova adalah sosok lelaki menarik penuh warna yang hidup pada abad kedelapan belas. Dia penulis, penyair, penerjemah, filsuf, pemikir bebas, petualang, bajingan, penjudi, penikmat makanan, pemain biola, bandar lotere, pebisnis, ahli nujum, dan sekaligus mata-mata. Sepanjang hidupnya, dia melakoni sederet petualangan asmara yang melambungkan namanya sebagai perayu legendaris dan penakluk wanita tersohor sedunia.

Memoar kontroversial yang untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Indonesia ini menyuguhkan episode petualangan cinta Casanova yang paling terkenal, termasuk saat dia berhasil menggoda dua biarawati Venesia dan para perempuan bangsawan kelas atas Eropa. Dalam buku ini, pembaca juga dapat membaca renungan-renungan Casanova tentang Tuhan, kehidupan, dan cinta. Sebuah buku mengejutkan yang akan membuat Anda penasaran, sekaligus terharu, dan tersenyum simpul.

Pujian:
Memoar yang bikin penasaran ... Buku ini bukan sekadar karya seorang perayu wanita, melainkan tulisan seorang sastrawan berbakat besar."
—New York Times Book Review

"Bacaan yang sangat menarik."
—New York Review of Books
Pengarang Truman Capote
Penerbit Serambi, ISBN: 978-979-024-107-7, 164 hal. HVS, Ukuran: 13 x 20,5 cm, Terbit: Februari 2009
Harga: Rp. 27.900,00.

Novel indah ini berkisah tentang Holly Golightly, seorang wanita muda misterius berjiwa bebas yang menjadi pujaan kaum pria kelas atas New York. Orang-orang mengenalnya sebagai ratu pesta, simpanan jutawan, dan sekaligus kaki tangan Mafia. Namun, siapakah sesungguhnya dia? Apakah yang dicarinya? Cinta atau harta?

Dituturkan dari sudut pandang seorang pemuda yang mengaguminya, kisah ini menyelami manis getir liku-liku kehidupan seorang Holly Golightly, salah satu karakter paling legendaris di dunia sastra yang cantik dan menggemaskan, tapi juga memiliki banyak sisi kelam.

Sebagai potret kehidupan kelas atas New York pada masa lalu, novel ini menjadi karya klasik yang tak pernah lekang oleh masa. Breakfast at Tiffany's kian populer setelah muncul sebagai film komedi romantis dengan bintang utama Audrey Hepburn pada 1961 dan tiga puluh tahun kemudian menjadi inspirasi sebuah lagu hit milik kelompok musik Deep Blue Something.

Truman Capote, pengarang terkemuka Amerika yang kisah hidupnya telah diangkat ke layar perak dalam film Capote (2005) dan Infamous (2006), menuliskan kisah ini dengan menawan: sangat renyah dan enak dibaca. Dia berhasil memadukan sentuhan humor, romantisme, dan berbagai pertanyaan menggelitik seputar cinta dan materialisme dalam kisah yang abadi ini.

Pujian:
"Ketimbang filmnya, cerita dalam novelnya lebih mendebarkan."
—www.librarything.com

"Paduan menarik antara Lolita dan Auntie Mame."
—Time

"Karakter tokoh-tokoh di dalamnya kompleks dan tidak mengada-ada. Anda akan langsung jatuh cinta pada mereka, seperti juga pada karya Capote lainnya."
—Teen Ink Magazine
Pengarang Richard Lloyd Parry
Penerbit Serambi, ISBN: 978-979-024-058-2, 452 hal. Ukuran: 13 x 20,5 cm, Terbit: Mei 2008
Harga: 49.900,00

Buku penuh fakta mengejutkan ini menuturkan kisah reportase wartawan terkemuka Richard Lloyd Parry di Indonesia antara 1996-1999.

Dia meliput dari dekat dan mengalami langsung peristiwa pembantaian etnis dan kanibalisme di Kalimantan pada 1997 dan 1999, demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan massal di Jakarta 1998, serta pembumihangusan Timor Timur oleh milisi dan tentara Indonesia menyusul jajak pendapat yang mengantarkan kemerdekaan negara itu pada 1999.

Ditulis dengan lancar, akrab, dan enak dibaca, buku ini membuka mata kita akan segala peristiwa kelam di negeri ini yang kerap ditutup-tutupi, sekaligus mengajak kita merenungkan kembali makna reformasi setelah 10 tahun rezim Orde Baru tumbang dan memaknai momen 100 tahun kebangkitan nasional.

Pujian:
"...gambaran nyata tentang sebuah bangsa yang sedang meluncur ke titik terendahnya ..."
—Literary Review (London)

"Richard Lloyd Parry adalah wartawan pemberani dan tak kenal lelah yang masuk jauh ke dalam borok kejahatan manusia dan kembali dengan sebuah kisah yang nyaris terlalu menggiriskan untuk dipercaya ... Reportase yang ditulis dengan indah dan berani."
—Literary Review (London)

"Solidaritas terhadap orang-orang yang paling menderita mendorong lahirnya kesaksian ini ... Zaman Edan—buku Richard Lloyd Parry tentang pergulatan Indonesia antara represi dan reformasi—mengambil tema yang memiliki daya tarik luar biasa."
—The Independent (London)

"Yang terbaik dari buku sejenis, muncul dari tengah kekacauan menjelang kebangkrutan pemerintahan Suharto pada 1998 ..."
—Financial Times Magazine (London)

"Jurnalisme sastrawi dalam praktik dan contoh nyata. Liputan Richard Lloyd Parry tentang konflik Dayak-Madura di Kalimantan, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, serta referendum berdarah di Timor Leste disajikan dalam sebuah dongeng mirip novel. Dan, inilah novel horor yang membuat film-film Alfred Hitchcock terasa hambar, sekaligus membuat kita akan bertanya: inikah wajah Indonesia sebenarnya?"
—Farid Gaban, pemimpin redaksi Madina